Sunday, January 4, 2009

"Foucault-speak": Diskursus

Dalam tulisan yang lalu, saya menjanjikan contoh cara kerja teori dalam memengaruhi dan menggerakkan. Lalu kenapa tiba-tiba ada "Foucault-speak" dan segala macam kata-kata itu?

Tenang!

Salah satu contoh yang akan saya kemukakan adalah pemikiran Michael Foucault. Jadi, saya merasa perlu menjelaskan istilah-istilah yang dipakai oleh Foucault dalam mengemukakan "teori"nya itu, agar dalam membaca contoh yang akan saya kemukakan nanti, Anda tidak menjadi bingung atau salah mengerti. Istilah-istilah itu saya beri nama "Foucault-speak" karena istilah-istilah itu memiliki makna khas dan penting dalam argumen-argumennya. Istilah-istilah itu adalah sebagai berikut:

Diskursus (Discourse)
Secara umum, diskursus (sering juga disebut wacana dalam bahasa Indonesia) berarti cara khas dalam berbahasa atau menggunakan bahasa, baik bahasa tulis maupun lisan. Kelompok masyarakat tertentu menggunakan bahasa secara khas. Orang-orang kedokteran, misalnya, mempunyai diskursus sendiri yang berbeda dengan orang-orang hukum.

Oleh Michael Foucault, istilah itu kemudian dikaitkan dengan pembentukan "knowledge" (pengetahuan) dan relasi kekuasaan. Dia mendefinisikannya sebagai "praktik bahasa" (language practice) yang dipakai oleh berbagai konsituensi (misalnya hukum, agama, kedokteran, dan sebagainya) untuk tujuan yang berkenaan dengan relasi kekuasaan di dalam masyarakat (Wolfreys, 2001).

Sekaitan dengan definisi ini, definisi yang dikemukakan oleh Weedon (1987) mungkin dapat lebih menjelaskan apa yang dimaksud oleh Foucault. Dia mengemukakan bahwa diskursus adalah:

"... cara menyusun pengetahuan, berserta praktik sosial, bentuk subjektifitas, dan relasi kekuasaan yang melekat di dalam pengetahuan tersebut, serta hubungan di antara semuanya itu."

Apa maksudnya?

Sederhananya begini: Praktik berbahasa (baca: diskursus) membentuk seperangkat pengetahuan (body of knowledge) yang pada gilirannya mempengaruhi praktik sosial, konsepsi tentang diri (subjektifitas), dan relasi kekuasaan yang terbentuk oleh hal-hal tadi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa diskursus membentuk objek (dalam hal ini pengetahuan) sekaligus subjek (yaitu manusia-manusia yang menyusun pengetahuan itu maupun yang dipengaruhi olehnya).

Kiranya sampai di sini dulu pembicaraan saya mengenai "Foucault-speak". Istilah-istilah lain, yaitu arsip, arkeologi, dan relasi kekuasaan akan saya bahas pada tulisan berikutnya.

Monday, December 29, 2008

Dua Ciri Teori: Mempengaruhi dan Menggerakkan

Teori sebagai paradigma (kerangka pikiran) mempunyai dua ciri, yaitu (1) memengaruhi, dan (2) menggerakkan. Bagaimana caranya? Dan apa saja yang dipengaruhi dan digerakkan? Mari kita lihat.

Pertama, teori berciri mempengaruhi karena apa yang dipostulatkan oleh teori mengubah cara pandang orang tentang hal-hal yang dikemukakannya. Dalam hal ini, teori bisa diibaratkan sebagai sebuah kacamata yang membuat apa yang kita amati dan kita pelajari menjadi tampak berbeda, sehingga cara kita bertindak terhadap objek itu juga berbeda.

Teori mengubah cara pandang kita dengan "menelanjangi" common sense - apa yang yang menurut penglihatan kasat dan pengalaman dianggap benar dan sudah semestinya. (Kita akan mencoba melihat contoh bagaimana "teori" menafikan common sense pada tulisan berikut.)

Selain memengaruhi, teori juga menggerakkan. Artinya, apa yang dikemukakan oleh teori dapat menggerakkan orang untuk berpikir mengenai hal-hal yang dikemukakannya.

Untuk saat ini, cukup sampai di sini. Pada tulisan berikut, sebagaimana saya janjikan di atas, kita akan melihat contoh-contoh di mana teori memengaruhi dan menggerakkan.

Sunday, December 28, 2008

Teori Sebagai Genre

Teori sebagaimana dibahas dalam tulisan satu dan dua dapat pula dinamakan sebagai genre (Rorty dalam Culler, p. 3). Alasan penyebutan ini adalah karena karya-karya pemikiran yang masuk dalam kategori "teori" ini berbeda dengan karya-karya pemikiran yang pernah ada sebelumnya. Menurut Rorty (op cit.), jenis karya seperti itu dimulai pada zaman Goethe, Macaulay, Carlyle dan Emerson dan memiliki ciri yang merangkul "penilaian keunggulan relatif dari produksi sastra, ... sejarah pemikiran, ... filsafat moral, [dan] ramalan sosial (social prophecy)" dalam satu tulisan.

Jadi, "teori" (genre baru karya pemikian) ini mempunyai sifat eklektik. Namun lebih dari itu, karya-karya jenis ini juga mempunyai ciri lain yang penting, yaitu sifatnya yang menantang dan memposisikan kembali pemikiran-pemikiran di luar bidang dari mana karya-karya itu berasal.

Itu awalnya.

Namun penjelasan yang diberikan oleh Rorty, menurut Culler, tidak memuaskan dan belum mampu menangkap apa yang terjadi sejak tahun 1960an di mana tulisan-tulisan dari luar bidang kajian sastra diadopsi dan dimanfaatkan oleh orang-orang dari kajian sastra untuk mengupas dan mendiskusikan makna teks dan hal-hal lain yang berkenaan dengan fenomena kebudayaan.

Karya-karya yang kemudian menjadi bagian dari kajian sastra itu berasal dari berbagai bidang keilmuan yang sangat luas, seperti sosiologi, psikoanalisis, teori politik, sejarah pemikiran, linguistik, kajian jender, antropologi, dan sebagainya. Sifat lintas bidang keilmuan (multidisipliner) yang menjadi ciri "teori" ini dengan sendirinya telah memengaruhi dan mengubah cara kita mengkaji makna teks dan fenomena kebudayaan. Pengkajian sastra tidak lagi berkutat pada penilaian baik buruknya suatu karya sastra berdasarkan elemen-elemen bentuk dan kebahasaan yang menyusunnya, namun telah meluas sedemikian rupa sehingga mencakup hal-hal seperti pemaknaan teks dalam arti luas, pembacaan cara kerja kejiwaan (the functioning of pysche), hubungan antara pengalaman publik dengan pengalaman privat, hubungan antara pengalaman individu dengan kekuatan-kekuatan sejarah yang besar, alam dan kebudayaan, dan sebagainya.

Meskipun karya-karya pemikiran jenis ini (baca: "teori", genre) berasal dari bidang-bidang keilmuan yang sangat beragam, ada satu ciri yang menjadikan karya-karya itu masuk dalam kategori "teori", yaitu bahwa gagasan-gagasan dan/atau argumen-argumen yang dikemukakan dalam karya-karya itu memiliki pengaruh yang luas dan menyebarang ke luar batas-batas tradisional bidang keilmuan dari mana karya-karya itu berasal.

Saturday, December 27, 2008

Apa Itu Teori?

OK, pada tulisan kemarin, saya sudah membahas apa itu teori dalam pengertian umum, dan "teori" sebagai sebuah istilah atau label yang sering dipakai dalam dunia kajian sastra dan budaya. Pembahasan itu masih menyisakan satu pertanyaan, apa maksud "teori" di situ?

Dalam tulisan ini saya akan mencoba meringkaskan apa yang ditulis oleh Jonathan Culler (1997) tentang seluk beluk "teori" ini.

Menurut Culler, ciri pertama "teori" adalah sifatnya yang spekulatif. Artinya, teori hanya dapat disebut "teori" jika dan hanya jika dia berspekulasi tentang sesuatu yang jawabannya tidak jelas dengan sendirinya (obvious). Selain itu, teori hanya bisa disebut "teori" jika dia melibatkan relasi yang kompleks dan sistematik dari unsur-unsurnya, serta tidak mudah untuk dipastikan atau ditolak kebenarannya. Jadi, suatu proposisi tidak dapat dianggap sebagai "teori" jika, misalnya, proposisi itu mempunyai konsekwensi logis yang jelas dan bisa segera dipastikan atau ditolak kebenarannya karena relasi di antara unsur-unsurnya hanya bersifat linear.

OK, mungkin kita perlu contoh di sini.

Anda mempunyai seekor kucing betina yang berusia delapan bulan. Suatu hari, Anda mendapati kucing itu berperilaku aneh, gelisah dan mengeluarkan suara-suara mirip auman keras yang tidak seperti biasanya. Mula-mula, Anda mengira kucing itu sakit. Tapi setelah Anda periksa, ternyata kucing itu tampaknya sehat-sehat saja.

Malam itu, ketika Anda tidur nyenyak, si kucing menyelinap keluar rumah dan menghilang. Dua hari kemudian, dia pulang. Saat itu, Anda baru sadar, mungkin saja kucing itu sedang birahi dan dia minggat untuk mencari pasangan.

Dari fakta-fakta itu, Anda kemudian berspekulasi bahwa kucing itu pasti telah kawin dan kira-kira delapan atau sembilan minggu lagi pasti akan melahirkan.

Apakah spekulasi yang Anda lakukan di sini dapat disebut teori?

Tentu tidak, karena (1) Jawaban atau konsekwensi logis dari serangkaian fakta yang membentuk spekulasi itu cukup jelas dengan sendirinya; (2) relasi di antara fakta-fakta (unsur-unsur) yang digunakan untuk membuat spekulasi itu tidak bersifat kompleks dan sistematik; (3) kebenaran atas jawaban spekulasi itu dapat dengan mudah diterima atau ditolak (dibuktikan).

Dari keterangan dan contoh di atas, dapat disimpulkan juga bahwa "teori" tidak persis sama dengan hipotesis. Dua-duanya memang mempunyai sifat spekulatif, namun umumnya jawaban atas suatu hipotesis bisa dibuktikan (diterima atau ditolak) dengan cukup lugas. Sebaliknya, jawaban atas spekulasi yang dilakukan oleh "teori" umumnya tidak dapat dibuktikan (diterima atau ditolak) dengan cukup gamblang.

Saya kira tulisan hari ini cukup sampai di sini. Tidak perlu terlalu banyak. Yang penting bisa dipahami. Kebetulan saya juga ada keperluan lain. Besok kita lanjutkan lagi.

Teori Apa?

Bagi saya, teori adalah kerangka pikiran yang mencoba memahami fenomena, cara mengelola hiruk pikuk kehidupan yang penuh keruwetan dan pertanyaan menjadi sebuah tenunan yang lebih dapat dilihat polanya, diraba kehalusannya, dinikmati keindahannya, dan dibayangkan disain "baju" yang akan dibuat darinya.

Tentu tidak semua kerangka pikiran dapat secara sah disebut teori. Ada syarat-syarat yang secara konvensional harus dipenuhi agar sebuah jalinan pikiran yang padu dapat disebut teori. Syarat itu berlabel metode ilmiah - sebuah kesepakatan yang mengkodifikasi secara sistematis proses keilmuan dan pencarian pengetahuan berdasarkan bukti yang dapat diobservasi, diuji, dan direplikasi secara konsisten untuk ragam fenomena yang serupa.

Itu satu teori.

Namun, teori yang akan menjadi pusat perhatian blog ini bukan teori yang itu. Ini teori jenis lain; teori yang - paling tidak menurut sebagian orang - telah dianggap sebagai pendobrak batasan-batasan tradisi kajian sastra (literary studies).

Maaf, sebelum telanjur, jangan buru-buru mengambil kesimpulan. Teori yang disebut barusan bukan teori sastra (literary theory) dalam pengertian kajian sistematik tentang hakikat sastra dan/atau metode penelaahan sastra. Sekali lagi, meskipun teori ini telah secara radikal mengubah kajian sastra (literary studies), namun ini bukan teori sastra (literary theory).

Teori ini memang bernama "teori" dan, tidak seperti teori-teori lain, "teori" ini tidak secara khusus berpostulat tentang suatu subjek tertentu, apalagi mencoba merangkum dan mencoba menjelaskan segala sesuatu.

Lho, lalu apa dong yang dimaksud di sini?

Teori di sini hanya istilah - atau sebut saja label - yang dewasa ini sering dipakai dan diperbincangkan dalam kajian sastra dan budaya (literary and cultural studies).

Baiklah, supaya Anda dapat mencerna dan merenungi apa yang baru saja saya katakan, saya berhenti saja dulu sampai di sini. Kebetulan sekarang saya juga sudah ngantuk dan kurang konsentrasi. Saya takut kalau saya lanjutkan, penjelasan saya akan menjadikan semuanya menjadi semakin tidak jelas. Kita lanjutkan saja besok, OK?